Waerebo; kampung di atas awan



Pertigaan Desa Todo (photo by Eto Tjeme)
Liburan Paskah kali ini saya mengunjungi Kampung Adat Waerebo di Kabupaten Manggarai dan Pulau Padar di Kabupaten Manggarai Barat, namun saya mulai saja dari Waerebo. Kampung adat dengan lokasi sangat terpencil yang ada di Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai.



Sedikit cerita tentang Waerebo sampai dengan terkenalnya hingga ke manca negara, adalah seorang arsitek asal Jakarta yang tertarik setelah melihat perangko dengan gambar Waerebo kemudian mengunjungi Waerebo dan terus mengenalkannya pada dunia melalui media internet, sejak saat itu Waerebo dikenal dunia hingga UNESCO menetapkannya sebagai warisan dunia paling penting 2012 silam dengan memberikan penghargaan Awards of Excellence di Bangkok. Waerebo masuk dalam wilayah Desa Satar Lenda, Kecamatan Satar Mese, Kabupaten Manggarai, Flores-Nusa Tenggara Timur. Menurut cerita, leluhur Waerebo berasal dari Minangkabau, Sumatera Selatan.

Jalan setapak menuju Waerebo (photo by Eto Tjeme)


Pagi itu bersama beberapa teman kami berangkat dari Ruteng ke Waerebo dengan motor. Ada dua rute menuju Waerebo dari Ruteng, kami mengambil rute Cancar, rute yang lain dari Iteng dan menurut pemandu kami jalur itu lebih cepat namun kondisi jalan rusak parah. Namun perjalanan menuju Waerebo melewati Kampung Adat Todo juga butuh perjuangan, jalan berbatu dan aspal yang tidak sempurna hampir sepanjang perjalanan sampai ke Denge, harus ekstra hati-hati, terampil dan cekatan mengemudikan motor di jalur ini. 
Tampak Perumahan Desa Denge dari kejauhan(photo by Eto Tjeme)
Bisa menggunakan mobil hanya saja jalannya sangat sempit, hanya seukuran lighttruck sehingga jika berpapasan dengan mobil/truck lain akan sangat sulit untuk mencari jalan keluar. Sesampainya di pertigaan Desa Todo kami melewati Desa Tungga karena jalannya cukup bagus namun sedikit memutar karena jika melewati rute umum jalannya semakin rusak dan cukup memperlambat perjalanan kita. Sampai Bearangking baru jalan cukup bagus sampai ke Dintor.

photo by Eto Tjeme
Dari pertigaan Anam-Cancar, butuh waktu sekitar 2 jam untuk sampai di pertigaan Desa Dintor karena kecepatan maksimal hanya bisa dengan 30 km/jam. Di pertigaan ini kami beristirahat cukup lama untuk makan siang sambil menikmati pantai Dintor dan keindahan Pulau Mules. 
Setelah istirahat kami melanjutkan perjalanan menuju Desa Denge. Di Denge cukup banyak penginapan (homestay) untuk para wisatawan dengan harga 400 ribu sampai 600 ribu rupiah per malamnya. Biasanya wisatawan menginap di tempat ini dan paginya menuju Waerebo, tapi kami putuskan untuk terus ke Waerebo dan menginap di Waerebo. 
Penasaran saja dengan sensasi kampung Waerebo di waktu malam.

Memukul bambu sebelum masuk perkampungan (photo by Eto Tjeme)
Sepanjang perjalanan dari dari Dintor menuju Denge, kita disuguhi pemandangan persawahan yang sangat asri, di Denge inilah kami harus menitipkan motor di rumah warga. 
Warga biasanya tidak meminta bayaran atas penitipan barang (motor, helm atau tas) tapi seikhlasnya kita memberikan uang atas jasa mereka, kita tak perlu khawatir karena masyarakat di Denge sangat menghormati para tamu dan menjaga keamanan barang-barang kita.

photo by Eto Tjeme



Menuju Waerebo

Perjalanan sesungguhnya dimulai dari Denge. Kami mulai menapaki jalan setapak, memasuki kawasan hutan yang rimbun. Cukup curam dengan dakian yang sangat menguras tenaga. Sekitar 9 KM dari Denge menuju Waerebo, butuh kurang lebih 4 jam perjalanan mendaki untuk sampai ke Waerebo. Wae Rebo ada pada ketinggian 1.200 meter dpl. Kicauan burung seakan bernyanyi menyambut kedatangan kami.

terlihat kabut mulai menutupi perkampungan Waerebo saat menjelang maghrib (photo by Eto Tjeme)
Sesampainya di pintu masuk Waerebo, kami harus memukul bambu sebagai tanda bahwa ada tamu yang akan berkunjung ke Waerebo. Setelah itu barulah kami turun menuju perkampungan, waow, terbayar sudah segala letih dan capek yang luar biasa itu dengan keindahan perkampungan Waerebo. Julukan kampung di atas awan terbukti sudah, betapa indahnya Waerebo. Sungguh Tuhan sangat baik memberikan kesempatan ini, melihat secara langsung Waerebo dengan 7 buah rumah kerucut beratapkan ijuk (atap kerucut ini sebagai lambang persaudaraan) yang telah bertahan selama 7 generasi itu.

Setibanya di perkampungan, kami disambut oleh seorang pemuda yang bertugas sebagai pemandu (pemandu ini sangat fasih berbahasa Inggris), mengantar kami menuju rumah tetua adat (Tua Golo). Kami mendapatkan sapaan adat dengan menggunakan bahasa Manggarai dan ritual selamat datang (dalam bahasa setempat pa’u wae lu’u). Intinya bahwa banyak pesan yang disampaikan selama berada di Waerebo dan pesan-pesan itu sebagian besar telah terpampang pada Pos I yang merupakan kantor UPT Dinas Pariwisata Kabupaten Manggarai.

sesaat sebelum makan malam (photo by Eto Tjeme)
Selama ritual kami tidak diperbolehkan mengambil gambar. Menurut cerita pemandu pernah ada yang melanggar, entah disengaja atau tidak, saat ritual dan sapaan adat ada yang foto. Tetua adat memang tidak menegurnya, mungkin karena tidak enak. Masyarakat Waerebo sangat menjaga perasaan para tamu, mereka memang ramah dan selalu tersenyum. Namun karena tidak mengindahkan maka semua peralatan kamera tanpa sebab yang jelas menjadi rusak. Akhirnya mereka harus datang lagi pada kesempatan yang lain.

Untuk setiap ritual kita harus membayar seikhlasnya, biasanya 20ribu rupiah. Ritual itu dipercaya sebagai permohonan kepada para leluhur untuk menjaga keselamatan kita selama berada di Waerebo maupun perjalanan pulang ke tempat asal kita.

menikmati purnama dari balik bukit (photo by Eto Tjeme)
Masyarakat Waerebo tidak terbiasa dengan pola dan gaya hidup yang modern, sehingga mereka risih jika kita berpenampilan atau berpakaian yang minim, berpelukanpun walaupun sebagai suami dan istri ‘dilarang’ di sini dan jangan pernah mengeluarkan kata kotor sekalipun itu dalam bahasa asing atau bahasa daerah asal pengunjung.

Setelah sapaan dan ritual adat pemandu mengajak kita ke tempat penginapan yang sudah disediakan untuk tamu. Sekali mengunjungi kita membayar 325 ribu rupiah per orang terkecuali guide dibebaskan dari biaya ini. Biaya yang terkumpul kemudian diserahkan ke Lembaga Pelestari Budaya Waerebo untuk renovasi perumahan adat (dalam bahasa Manggarai disebut Mbaru Gendang/Mbaru Niang), konsumsi tamu, perawatan solarcell dan perawatan sumber-sumber/bak air di Waerebo.

Kopi pagi (photo by Eto Tjeme)
Masyarakat Waerebo bermata pencaharian sebagai petani dan peternak, mereka mencari uang sendiri dengan menjual tenun (dalam bahasa Waerebo Cura), kopi dan kerajinan tangan lainnya khas Waerebo.

Setelah sampai di penginapan, kami disuguhkan kopi. Kopi Waerebo sejenis robusta dan sangat lezat, kami seruput sambil bercanda ria dan mendengarkan cerita tentang Waerebo. Saya sendiri walaupun baju basah dengan keringat yang begitu banyak tidak bisa mandi karena cuacanya sangat dingin.

penduduk kampung Waerebo (photo by Eto Tjeme)
Sore itu kami menikmati kesejukan dan kedamaian di Waerebo, kampung kabut yang indah. Jam 18.30 kami makan malam bersama para wisatawan yang lainnya, tidak ada meja dan kursi semuanya duduk bersila dalam keakraban. Setelah makan malam, kami menuju pelataran untuk menyaksikan keindahan purnama dari balik bukit. Sayangnya tak bisa dengan jelas menyaksikan milkyway dari Waerebo karena bulan purnama sangat terang.

Aktivitas pagi penduduk Waerebo (photo by Eto Tjeme)
Suasana malam di Waerebo sangat damai, suara serangga malam khas pegunungan. Kami menginap dalam satu ruangan yang terbuka, tak perlu khawatir kedinginan karena masing-masing kita diberikan selimut tebal dan alas tidur dari anyaman daun pandan yang diisi dengan kapuk. 
Di Waerebo juga MCK sangat bersih, air tersedia lebih dari cukup. Listrik memang tersedia di sini dengan menggunakan panel surya namun jam 21.00 listrik dipadamkan kecuali toilet atau kamar mandi. Ini juga agar para wisatawan merasakan denyut malam di Waerebo, gambaran keheningan perkampungan di pegunungan manapun

Karena kelelahan saya tidur dengan sangat pulasnya, suasana yang tenang dan nyaman tak terasa mengantarkan kami ke pagi yang cerah.



Struktur Bangunan dan Fungsi Mbaru Niang/Gendang

Kampung Waerebo di pagi hari (photo by Eto Tjeme)
Seperti yang sudah disinggung di depan bahwa atap rumah adat Waerebo berbentuk kerucut dan ditutupi ijuk. Tinggi atap ini 15 meter dengan bambu sebagai gording, yang diikat dengan rotan (tidak menggunakan paku). Ada 5 tingkat dalam Mbaru Niang/Gendang ini dengan fungsi yang berbeda-beda. Tingkat 1 (Lutur) sebagai tempat tinggal sekeluarga, tingkat 2 (Lobo) sebagai tempat untuk menyimpan persediaan makanan, tingkat 3 (Lentar) untuk menyimpan benih tanaman, tingkat 4 (Lempa Rae) untuk menyimpan persediaan makanan jika terjadi musim kemarau berkeopanjangan/lapar dan tingkat 5 (Hekang Kode) untuk menyimpan sesajian (dalam bahasa setempat Langkar, yaitu anyaman bambu berbentuk persegi).



penduduk Waerebo sebelum melakukan aktivitas harian (photo by Eto Tjeme)
Setelah bangun pagi saya bersama beberapa teman menuju bukit dekat perpustakaan untuk mengambil foto. Sesaat kemudian pemandu memanggil kami untuk minum kopi dan sarapan pagi. Setelah sarapan kami berpamitan untuk pulang. Perjalanan pulang tentu tak seletih saat datang karena tak lagi mendaki, sekali lagi kami nikmati udara segar pegunungan sepanjang perjalanan pulang. 
Akan ada 1 atau 2 kelompok wisatawan yang pagi itu menuju Waerebo, kemungkinan mereka menginap di Denge dan langsung pulang kembali ke Denge setelah beberapa saat di Waerebo.

berpose bersama wisatawan mancanegara sesaat sebelum meninggalkan Waerebo (photo by Eto Tjeme)
Waerebo, kampung di atas awan itu sangat memukau, pastinya akan kembali lagi ke sini.






Komentar

Postingan Populer