Palue, pulau eksotis di Sikka

Perjalanan kali ini adalah Palue. Pulau gunung berapi nan eksotis yang ada di Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur.
Waktu menunjukkan pkl. 01.00 Wita saat Mphy Lamanepa, seorang sahabat dan juga fotografer asal Maumere menelepon saya untuk trip ke Palue. Seminggu sebelumnya kami telah sepakat untuk coba mengexplore beberapa spot indah di Palue. 

Pelabuhan Palue menjelang fajar menyingsing (photo by Eto Tjeme)
Saya segera berangkat menuju pelabuhan Laurens Say Maumere, kemudian bersama Mphy kami berdua tumpangi perahu motor yang melayani rute Maumere-Palue, KM Embun.
Pkl. 02.00 Wita bersama penumpang kapal (biasanya warga Palue yang ke Maumere untuk berbelanja atau warga Maumere yang bertugas sebagai Aparatur Sipil Negara di Palue) kami bertolak menuju Palue. 

Suasana pesisir pantai Pasar Uwa menjelang sunrise (photo by Eto Tjeme)
Semilir angin laut menusuk sum-sum, dingin, mengarungi lautan lepas Utara Flores dalam kegelapan.
Sepanjang perjalanan kami menikmati bintang sambil bercanda ria, akh seandainya bisa mengabadikan milkyway pagi itu. Tak ada rasa kantuk sedikitpun walau semalaman terjaga takut ketinggalan kapal. 
salah seorang pedagang bersiap mengambil/membeli ikan dari para nelayan (photo by Eto Tjeme)
Daripada bengong bersama beberapa penumpang kami memutuskan untuk bermain catur dan kartu remi, sangat seru dan penuh keakraban.
Setelah 4 jam perjalanan, sampailah kami di perairan Palue, samar-samar fajar menyingsing membuatku terpaku sesaat, sunrise muncul dengan begitu cantiknya, seolah mengatakan hai sobat, selamat datang di Palue!


goldenhour di pesisir Uwa (photo by Eto Tjeme)
Palue, sebuah pulau di sebelah Utara Pulau Flores, masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur. 
Pulau Palue merupakan salah satu pulau terluar selain Pulau Sukun, Desa Samparong di Kabupaten Sikka dengan julukan Pulau Gunung. 
Tampak kejauhan Perumahan Paramedik Puskesmas Uwa-Palue (photo by Eto Tjeme)
Terdapat 8 desa (Maluriwu, Reruwairere, Kesokoja, Ladolaka, Tuanggeo, Rokirole, Nitunglea dan Lidi) dengan luas kurang lebih 40an kilometer persegi, dengan mayoritas penduduk beragama Katolik serta bermata pencaharian sebagai nelayan, petani dan peternak. Bagian Selatan pulau ini ada gunung api Rokatenda, salah satu gunung berapi yang masih aktif. 


sepeda motor penumpang diangkut menuju Maumere (photo by Eto Tjeme)
Penduduk Palue menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Palue yang disebut Sara Lu’a dan menurut cerita Palue ditemukan oleh seorang pelaut asal Bugis-Sulawesi Selatan dan menamakan Pulau ini dengan Palue (dari kata Palu yang artinya pulang) dan tambahan kata e sebagai tambahan kata-kata bagi orang timur (seperti sudah ee, marah ee, jalan ee, dsb).

gelombang cukup tinggi maka penumpang diangkut dari kapal dengan sampan (photo by Eto Tjeme)
Di Palue ada semacam ritual yang namanya Pua dan Pati Karapau. Itu adalah ritual pemulihan (setelah bencana alam) dengan mengorbankan kerbau kepada Watu Tana (Tuhan). Ritual lima tahunan ini diadakan secara bergilir untuk beberapa desa. Palue juga daerah yang mengalami kesulitan air bersih, mereka mendapatkan air dengan menampung air hujan pada bak-bak penampung besar atau dengan menyuling uap panas bumi.

Setelah sampai ke pelabuhan rakyat (tambatan perahu) Uwa, kamipun turun, namun karena ada beberapa kendala kapal tidak bisa bersandar di tambatan sehingga kami menggunakan sampan untuk ke daratan. Kami membayar 35 ribu rupiah per orang untuk biaya kapal sudah include dengan biaya ‘penyeberangan’ menggunakan sampan. 
Desa Nitung dari pertengahan tanjakan Awa (photo by Eto Tjeme)
Karena kami tidak membawa sepeda motor (motor bisa juga diangkut dari Maumere ke Palue dengan biaya 50 ribu per unit) maka sesampainya di pesisir kami menggunakan jasa ojek untuk selanjutnya menuju rumah kenalan, kakak Yan Laba (salah satu Kepala Bidang pada Bappeda Kab. Sikka)
1 dari 3 jembatan bambu dari Nitung menuju Uwa (photo by Eto Tjeme)

Sampai di rumah, kakak Yan menyambut kami dengan senyuman ramah khas Palue, senyuman tapi lebar seperti tawa, itulah ciri keikhlasan masyarakat Palue. Setelah mandi dan sarapan, saya bersama Mphy dan seorang guide lokal menuju Dusun Awa (termasuk Zona Merah) melalui desa Nitung untuk menikmati puncak letusan baru gunung api Rokatenda. 
sunrise dari puncak gunung Desa Tuanggeo (photo by Eto Tjeme)
Perjalanan ke Dusun Awa termasuk perjalanan yang agak sulit tapi menyenangkan, para ojek di sana biasanya sudah terlatih dengan medan Palue sehingga tanjakan demi tanjakan mereka lewati tanpa hambatan, motor-motor yang digunakan untuk ojek banyak yang sudah tidak sesuai standar kendaraan bermotor, banyak bagian yang dicopot sehingga seperti rangka. Saat pertama kali berkendara bersama ojek di Palue jantung serasa copot, hanya dengan keyakinan dan kepercayaan yang bisa membuat kita tenang.


milkyway Palue (photo by Eto Tjeme)
Sesampainya di Desa Nitung kami berhenti di rumah salah satu warga, sedikit bertanya-tanya tentang kondisi dan jalur Dusun Uwa. Setelah dirasa informasi itu cukup kami menuju Dusun Awa dengan berjalan kaki. Jarak dari Nitung ke Awa sekitar 1,5KM namun dengan kemiringan tanjakan sekitar 45 derajat. 
menjelang senja di Uwa (photo by Eto Tjeme)
Dakiannya benar-benar menguras tenaga. Setelah satu jam tibalah kami di Dusun Awa untuk menyaksikan keindahan puncak letusan baru gunung api Rokatenda, kami disuguhi air kelapa oleh salah satu tokoh masyarakat. Karena masuk zona merah Dusun Awa sudah ditinggalkan sebagian besar penduduknya ke Pulau Besar dan Hewuli-Maumere pasca erupsi 2012-2013  silam. 
senja dari Tambatan Perahu Rakyat Palue (photo by Eto Tjeme)
Walaupun begitu masih saja ada beberapa penduduk yang tidak mau meninggalkan dusun ini, ada alasan yang tidak bisa disebutkan tentang hal ini.

Hari telah terik dan kami putuskan untuk kembali ke Nitung, jalan pulang tidak terlalu letih karena banyak menurunnya, kami berlari kecil untuk bisa cepat sampai. Setibanya di Nitung kebetulan saja ada salah satu warga yang anaknya menikah mengajak kami untuk makan siang bersama, puji Tuhan inilah kebaikan warga Palue, mereka menganggap siapa saja yang datang sebagai kerabat jauh yang sedang datang berkunjung. Setelah makan kami berjoged bersama dan sorenya kami turun ke Desa Tuanggeo. 


Di Tuanggeo kami putuskan untuk bermalam. Suasana malam di Palue sangat hening, juga ada tawa dan canda dari rumah-rumah sebelah, benar-benar keakraban yang menakjubkan dalam keluarga kecil mereka.
Pagi keesokan harinya kami menyaksikan sunrise dari Tuanggeo, waow, sangat-sangat keren, kami mengabadikannya dengan berbagai macam gaya foto siluet. 

Setelah seruput segelas kopi dan makan pagi, kami turun kembali ke pesisir Desa Uwa dan menikmati kebersamaan dengan beberapa sahabat di sana.
Menjelang senja kami menikmati sejuknya pantai Uwa dengan mandi-mandi dan berenang, di sana kita bisa meminjam sampan nelayan untuk sekedar mencoba mendayung sampan, bagi yang pernah tentunya. 

Palue terus tampakkan pesona dengan kecantikan sunsetnya, sayangnya sunset di balik bukit Uwa, jika saja saat itu kami di tanjung mungkin mentari tenggelam di lautan bisa kami saksikan. Setelah sunset kami kembali untuk makan malam bersama kakak Yan dan keluarga. Ikan merah panggang, kuah asam dan ayam bakar dipadu dengan bumbu khas Palue jadi menu malam itu. Sangat lezat, diiringi organ tunggal yang dipesan kak Yan, kami bernyanyi bersama (di Palue untuk sementara tidak ada jalur listrik PLN tapi menggunakan generator atau genzet milik warga sendiri).


Palue yang selalu mempesona (photo by Eto Tjeme)
Pkl. 24.15 Wita, saya dan Mphy menuju pesisir pantai untuk mengambil foto milkyway, setelah beberapa kali jepret kami kembali ke rumah dan beristirahat.
Keesokan harinya kami kembali ke pantai untuk menyaksikan goldenhour sunrise Palue yang terkenal itu, amazing! Setelah cukup puas dengan sunrise kami harus persiapkan diri untuk mengejar kapal pagi ke Maumere. 

Pkl 08.00 Wita kami bertolak dari Palue ke Maumere.

Sungguh perjalanan yang menyenangkan, masih banyak spot bagus dan keren di Palue, sayangnya keterbatasan waktu membuat dan rutinitas pekerjaan membuat kami harus kembali ke Maumere. Palue sangat keren, satu saat pasti kembali ke sini, mbola so (terimakasih dalam bahasa Palue)!


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer